Pemerintah telah menerbitkan perintah presiden atau Perpres nomor 125 tahun 2022 tentang penyelenggaraan cadangan pangan pemerintah (CPP). Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menyatakan ada beberapa pasal yang perlu dicermati perihal kewenangan Badan Pangan Nasional dan Bulog dalam menjaga stabilisasi pangan. Ketua Pataka, Ali Usman menyoroti Pasal 4 ayat 2 di mana penetapan jumlah CPP dilakukan berdasarkan hasil rapat koordinasi terbatas atau rakortas di tingkat menteri/kepala lembaga. Kemudian pasal 11 ayat 6 yang menyebutkan penyaluran CPP pun dilakukan melalui rakortas tingkat menteri atau kepala lembaga. “Perlu diperingatkan. Jangan sampai Perpres ini memasung kedua kalinya peran Bulog dan BUMN Pangan, yakni dipaksa menyerap CPP tetapi tidak diberikan kewenangan penyaluran,” ucap Ali.
Ali menilai Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog seharusnya memiliki kewenangan untuk menentukan jumlah CPP dan penyalurannya. Terlebih, kini Bulog tidak hanya ditugaskan menguasai CPP beras, jagung dan kedelai melainkan juga komoditas pangan strategis yang lainnya atau 11 bahan pokok. “Kami berharap Bapanas dapat mengeksekusi sendiri terkait Jumlah CBP dan penyalurannya. Karena Bapanas setara Menteri. Tanpa rakortas pun jadi, karena urusan mendesak,” ucapnya. Ali mengaku khawatir jika penentuan jumlah CPP dan penyalurannya tak berjalan lancar, akan berdampak pada ketahanan masyarakat hingga inflasi pangan. Ali menyarankan agar komoditas itu dapat disalurkan melalui program strategis nasional melalui bantuan sosial (bansos). Contoh program yang sempat dibuat pemerintah, yakni beras sejahtera (rastra) atau beras untuk keluarga miskin (raskin).
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira pun mencermati pasal 4 ayat 2. Menurutnya, secara ideal seharusnya jumlah CPP menjadi kewenangan Bapanas dengan menimbang hasil rakortas. “Jadi sifat dari rapat koordinasi hanya sebagai referensi bukan otoritas keputusan,” ujarnya. Bhima menilai aturan dalam Perpres 125 tahun 2022 membuat kewenangan Bapanas justru melemah. Padahal, Bapanas seharusnya menjadi badan super power yang dapat menetapkan jumlah CPP, bukan teknis pelaksana. Bapanas perlu ditempatkan pada ranah pengambil kebijakan utama terkait pangan. Lebih jauh, Bhima khawatir pemerintah menghadapi jalan buntu atau deadlock saat rakortas. Alasannya, ada ego dari tiap kementerian lembaga terutama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sehingga penentuan jumlah CPP maupun penyalurannya dapat terhambat. Keputusan soal berapa jumlah CPP seharusnya cepat untuk mengantisipasi ancaman resesi dan krisis pangan secara global.