Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda, mengatakan jangan sampai kebijakan redenominasi mengakibatkan kebingungan di masyarakat serta menimbulkan dampak sosial akibat kurangnya pemahaman. Meminimalisasi dampak penting lantaran tidak sedikit dari masyarakat adalah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Menurut Candra, beberapa negara berhasil melakukan redenominasi karena lingkungan sudah bagus. Adapun kebijakan redenominasi yang gagal, karena upaya sosialisasi tidak terlalu masif.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang Yunan Saifullah berpendapat, jika gagasan redenominasi tersebut benar-benar direalisasikan, perlu kajian yang lebih utuh dan menyeluruh, termasuk belajar dari sejarah 1965-1966. Saat itu, pernah dilakukan kebijakan serupa, tetapi dipicu oleh faktor politik dan hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, kembali lagi ke kebijakan awal. Menurut Yunan, ada dua hal yang mesti disikapi oleh Menteri Keuangan, yakni terkait kepanikan yang bisa muncul dari pelaku ekonomi, khususnya rakyat kecil. Selain itu, soal inflasi lantaran masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan transaksi menggunakan uang reguler dengan nilai nominal yang ada selama ini.
Pengamat politik dan kebijakan Universitas Brawijaya Andhyka Muttaqin, mengatakan memiliki nominal mata uang dengan digit panjang. Hal ini terlihat sepele, tetapi dalam dunia akuntansi, perbankan, dan sistem pembayaran digital, jumlah digit yang panjang dapat memperlambat proses transaksi dan menimbulkan kesalahan pencatatan. Agar redenominasi berhasil, pemerintah perlu melaksanakan secara bertahap dan terencana. Andhyka juga menyebut redenominasi dapat mencerminkan kepercayaan pemerintah terhadap stabilitas nasional. Jika dilakukan tepat, kebijakan ini bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperkuat legitimasi politik.
