Pakar elektoral dan tata kelola pemilu dari Universitas Airlangga, Kris Nugroho menegaskan rancangan undang-undang (RUU) Pemilu berbasis kodifikasi harus dibangun secara paralel dengan pembenahan sistem kepartaian di Indonesia. Menurut Kris, perbaikan sistem pemilu tidak akan efektif jika tidak diikuti oleh penguatan kelembagaan partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
Kris menilai, penguatan regulasi tentang partai politik harus ditegaskan secara eksplisit dalam RUU Pemilu agar partai memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mencerdaskan pemilih dan menjaga integritas calon yang diusung. Ia menambahkan, di balik rancangan kodifikasi UU Pemilu, terdapat harapan besar agar partai politik di Indonesia menjadi lembaga yang kuat, terstruktur, dan memiliki otoritas yang jelas dalam mengontrol proses elektoral dari awal pencalonan hingga pasca pemilihan. Ia berharap RUU Pemilu yang sedang digodok dapat mengakomodasi kebutuhan untuk memperkuat partai politik sebagai institusi yang kredibel dan dipercaya publik, mengingat biaya penyelenggaraan pemilu yang semakin besar. Lebih lanjut, Kris juga menilai volatilitas elektoral masih menjadi tantangan besar bagi partai-partai politik Indonesia. Banyak partai besar kehilangan basis dukungan, sementara partai baru tumbuh cepat, tetapi hubungan antara pemilih dan partai masih bersifat dangkal.
Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama menyampaikan salah satu upaya penguatan sistem keparataian juga bisa dilakukan dengan mengubah sistem pemilu. Koalisi masyarakat sipil merekomendasikan sistem pemilu campuran (Mixed Member Proportional atau MMP) untuk menggantikan sistem proporsional terbuka saat ini. Model ini, menurutnya, akan menjaga keseimbangan antara aspek kelembagaan partai dan kualitas individu calon. “Sistem mixed member proportional memberi insentif pada partai untuk lebih berlembaga, tetapi juga tetap memberi ruang bagi calon untuk berkompetisi secara sehat,” jelas Heoik.
