Perdagangan Bebas yang Tak Adil Tidak Membawa Damai, Tetapi Bentuk Penindasan Ekonomi

Pemerintah diminta melakukan reformasi struktural terutama di sektor riil agar tidak terus-menerus melakukan impor yang menghabiskan devisa negara dan memiskinkan rakyat. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai blok perdagangan, terbukti tidak memberi manfaat yang optimal. Perdagangan bebas kebanyakan berjalan tidak adil, tidak membawa damai, malah menjadi praktik penindasan ekonomi. Sebab itu, Pemerintah harus menghentikan impor terutama barang-barang konsumsi yang seharusnya bisa diproduksi dalam negeri. Impor barang-barang konsumsi selama ini hanya membuat para pemburu rente (rent seeker) berkuasa. Mereka bukannya membantu para petani, tetapi semakin tertindas oleh ulah importir. Selama ini, perdagangan bebas bukannya membuat persaingan pasar berjalan sehat, tetapi jadi ajang penindasan.

Kalau industri nasional pun dihadapkan pada high cost economy atau ekonomi biaya tinggi dari atas sampai bawah, sangat sulit untuk bisa memproduksi barang murah. Perdagangan bebas yang berlangsung dengan tidak adil, tidak akan membawa damai, tetapi penjajahan ekonomi. Pakar filsafat, sejarah, dan akuntansi di University of Southern California, Jacob Soll, baru-baru ini mengatakan sejarah menunjukkan pasar bebas menjadi dasar persahabatan antara negara-negara kuat, tetapi mereka kurang berhasil mengamankan perdamaian dan demokrasi seperti yang diharapkan banyak orang. “Sekarang, kita tiba pada saat yang lebih berbahaya. Demokrasi sedang mundur di seluruh dunia. Ekonomi global tampaknya siap untuk resesi dan perang telah pecah di Eropa, sementara ketegangan meningkat antara AS dan Tiongkok. Sementara itu, skeptisisme publik tentang perdagangan bebas melonjak di momen populis ini. Bisakah pasar bebas menjaga perdamaian? Kita harus berharap mereka bisa,” kata Soll.

Pengamat Sosial yang juga Guru Besar bidang Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan merujuk data yang ada kondisi impor Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor meningkat hampir 40 persen pada 2022 dibandingkan 2021. Per Juli 2022 impor mencapai angka 21,35 miliar dollar AS. Impor nonmigas naik 25,41 persen per Juli 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan impor nonmigas sebesar 62,51 persen didominasi logam mulia dan perhiasan/ permata. Adapun impor barang modal seperti mesin atau peralatan mengalami penurunan drastis. “Potret ini memperlihatkan struktur impor Indonesia kurang strategis karena didominasi untuk barang-barang konsumtif. Padahal itu menguras cadangan devisa negara kita. Apabila untuk barang-barang modal masih bisa ditolerir, apalagi untuk memproduksi output yang akan dijual ke luar negeri,” kata Andy. Sementara Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan importir atau rent seeker harus diakhiri. Sebagai gantinya, pemerintah harus menggenjot pengembangan subtitusi impor guna mencapai kemandirian pangan.

Search