Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025 untuk ditunda. Sebab, kebijakan tersebut dapat berdampak pada turunnya daya saing industri hingga memicu banjir produk tekstil ilegal. Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengatakan, kenaikan PPN secara otomatis akan meningkatkan biaya produksi tekstil dan produk tekstil (TPT) yang berujung pada melonjaknya harga jual produk di pasar. “Kalau tidak ada perlindungan karena PPN makin tinggi dan produk ilegal yang tidak membayar PPN akan makin mematikan industri TPT nasional,” kata Jemmy kepada Bisnis, Senin (25/3/2024).
Kenaikan harga jual akan membuat daya beli masyarakat semakin tertekan. Hal ini juga mendorong serbuan barang impor ilegal yang tidak membayar PPN dan menjual dengan harga murah. Terlebih, industri TPT secara global pun belum membaik dan terus menggerus daya beli. Jika hal ini terjadi, Indonesia berpotensi menjadi target serbuan barang tekstil dari luar. “Kita berharap penerapan PPN 12% dapat ditunda. Pemerintah harus fokus terhadap perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor, baik legal dan dan ilegal,” tuturnya. uga menilai kebijakan PPN 12% juga dapat membuat upaya pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 26/2023 yang mengatur lalu lintas impor tak efektif. Menurut Jemmy, Permendag No. 36/2023 dan aturan penyempurnaannya melalui Permendag No. 3/2024 untuk TPT harus dipertahankan untuk melindungi pasar dalam negeri.
Di sisi lain, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dari sisi kebijakan fiskal, penerapan PPN 12%, bakal memiliki dampak siklus yang panjang, yaitu kenaikan biaya produksi dan konsumsi yang menekan daya beli sehingga utilisasi dan penjualan melemah. Tauhid menilai tantangan ini harus diatasi pemerintahan baru karena Indonesia perlu akselerasi pertumbuhan ekonomi, serta menjaga konsistensi prioritas pembangunan nasional.