Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) mengungkap kekhawatiran atas dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang terhadap keberlangsungan industri pengolahan. Ketua Himki Abdul Sobur mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% tahun depan dapat memberatkan pebisnis mebel di tengah kelesuan penjualan ekspor. Pasalnya, tak sedikit pengusaha yang mengalihkan fokus bisnis ke pasar domestik lantaran kinerja ekspor yang anjlok. “Saat ini industri umumnya termasuk mebel dan kerajinan tengah berhadapan dengan tren penurunan pasar ekspor, artinya menaikkan PPn tentu menjadi hambatan dan tekanan lain bagi pelaku usaha di tengah kelesuan permintaan,” kata Sobur.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, ekspor mebel (HS 94) pada 2023 sebesar US$2,28 miliar atau turun 22% (year-on-year/yoy) dari periode yang sama tahun lalu senilai US$2,93 miliar. Sedangkan, pada kuartal I/2024 tercatat ekspor mebel mencapai US$595,5 juta turun 0,82% yoy dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$6 juta. “Oleh karena penurunan pasar ekspor, sebagai antisipasinya anggota HIMKI yang mayoritas adalah eksportir berupaya mengembangkan pasar domestik.” tuturnya.
Sobur menilai kenaikkan PPn akan melemahkan daya beli masyarakat karena biaya produk yang meningkat. Selain harga produk yang naik bagi kelompok konsumen, dampak lainnya bagi industri adalah harga bahan baku lokal yang ikut melonjak. Menurut Sobur, PPn 12% juga akan mengerek harga bahan baku, sehingga industri akan terpaksa menyesuaikan harga produk karena ongkos produksi yang turut naik. “Kenaikkan PPn akan berdampak pada proses transaksi di dalam negeri, termasuk pembelian dan penjualan bahan baku. Kenaikkan bahan baku akan berkorelasi dengan kenaikkan biaya produksi sehingga harga jual produk pun akan terdampak,” terangnya.