Penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia ditargetkan tuntas pada tahun 2024. Namun, upaya mengatasi kemiskinan ekstrem masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal peningkatan kualitas rumah. Program pengentasan ini membutuhkan dukungan pemerintah pusat dan daerah. Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Edward Abdurrahman mengemukakan, jumlah masyarakat miskin ekstrem yang harus dientaskan hingga 2024 mencapai 6,2 juta jiwa. Sementara itu, dukungan Kementerian PUPR untuk penanganan kemiskinan ekstrem melalui program infrastruktur berbasis masyarakat dan peningkatan kualitas rumah baru mampu menjangkau 100.000-150.000 jiwa per tahun. Program (infrastruktur berbasis masyarakat dan peningkatan kualitas rumah) ini baru dimulai tahun 2020. Menurut Edward, pekerjaan terbesar penanganan kemiskinan ekstrem ialah masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Bantuan yang digulirkan PUPR untuk mendukung peningkatan kualitas rumah baru sebatas menyentuh masyarakat berkategori penghasilan Rp 2,2 jutaRp 3,4 juta per bulan (desil 3 dan 4). Adapun masyarakat berpendapatan di bawah Rp 2,2 juta (desil 1 dan 2) umumnya tidak memiliki kemampuan meningkatkan kualitas rumah.
Upaya mengatasi kemiskinan ekstrem, termasuk permukiman kumuh, memerlukan kolaborasi pemerintah pusat dan daerah, serta pemangku kepentingan terkait. Solusi yang diperlukan antara lain rumah khusus dan rumah susun sederliana sewa (rusunawa) murah. Direktur Eksekutif Humanitarian Porum Indonesia Surya Rahman Muhammad menambahkan, persoalan perumahan perlu dikelola oleh berbagai pihak. Namun, tanpa kebijakan pemerintah yang konkret dan jelas, pemangku kepentingan lain akan kesulitan dalam mcndorong akses rumah layak huni. Kerap terjadi, pemerintah pusat dan daerah belum sinkron dalam relokasi hunian bagi korban bencana alam. Surya juga menyoroti minimnya kepastian lahan untuk penyediaan rumah layak huni. Saat ini, kepemilikan lahan oleh pemerintah daerah rata-rata kurang dari 20 persen sehingga memicu masalah ketika terjadi bencana yang mengharuskan relokasi. Dicontohkan, sewaktu bencana tsunami di Aceh serta gempa di Sumatera Barat dan Palu (Sulawesi Tengah), hampir tidak ada lahan pemda yang bisa digunakan untuk relokasi. Akibatnya, lahan yang digunakan adalah hutan lindung.