Penggunaan aplikasi Jaringan Untuk Sistem Aplikasi Sengketa di Indonesia (Justisia) yang telah diluncurkan oleh Kementerian ATR/BPN) dikeluhkan pengembang perumahan nasional dan sejumlah investor. Aplikasi Justisia justru ditengarai menjadi celah baru, bagi masuknya praktik-praktik mafia tanah. Pada akhirnya mengancam investasi dan bisnis yang dijalankan pengembang.
Sejatinya, Ketua Umum Asosiasi Srikandi Pengusaha Properti Indonesia (Srideppi) Risma Gandhi mendukung tujuan diciptakannya aplikasi Justisia yaitu memantau dan menekan praktik mafia tanah sebagai monitoring bagi ATR/BPN. Namun, belakangan keberadaan aplikasi Justisia, justru mengancam keberlanjutan investasi di daerah. Aplikasi Justisia bisa dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk memeras pengembang lewat mekanisme membikin girik palsu dan kemudian melakukan gugatan ke PTUN. Risma menambahkan, ketika ada pihak lain yang memiliki dokumen girik atau Letter C dan memasukkannya ke dalam sistem aplikasi Justisia, pengembang yang status lahannya dipersoalkan tersebut otomatis terblokir. Pengembang bersangkutan tidak boleh melakukan pembangunan, walaupun tanah yang dikuasai itu sudah bersertifikat hak guna bangunan (SHGB) atau hak milik (SHM).
Risma menekankan, cara verifikasi aplikasi Justisia ini yang dikritisi, karena masih belum memberikan keamanan dan kepastian buat pengembang dan investor. “Tanah kami yang sudah bersertifikat dan resmi dikeluarkan oleh ATR/BPN, justru diverifikasi dengan dokumen letter C atau girik dari pihak lain, jadi tidak apple to apple dan proses mediasinya itu juga memakan waktu lama,” cetus Risma. Padalah sebenarnya, tahapan mediasi bisa diselesaikan kedua belah pihak yang bersengketa di ATR/BPN setempat. Misalnya ada permasalahan di legalitas kepemilikan, maka akan masuk ke bagian legal atau paralegal ATR/BPN. Setelah itu dilakukan pengukuran ulang. Kedua belah pihak datang untuk proses penyelesaian sesuai dokumen. Pada saat itu, bisa langsung diselesaikan. Buka blokiran atau lanjutkan proses hukum ke pengadilan. “Setelah adanya aplikasi Justisia tidak bisa. Karena proses mediasi di ATR/BPN-nya dihilangkan. Langsung masuk ke sistem. Jadi menurut kami verifikasi yang paling utama. Fokus kami diverifikasi legalnya. Dan ini acuannya harus tepat secara hukum. Jadi tidak ada yang dirugikan terutama yang sudah berinvestasi disitu,” jelasnya.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya Kalimantan Tengah Dwi Nurcahya menuturkan, proses administrasi tanah di BPN adalah proses bisnis pengembang. “Jadi tujuan mafia tanah bukan perkara menang atau kalah di PTUN. Tetapi memutus proses administrasi di BPN. Akhirnya pelaku usaha diminta mediasi. Nah, di situlah celah mereka memeras. Jika kalah mereka bisa banding lagi dan itulah yang makan waktu. Bisnis terhenti dan itu sangat merugikan,” ucap Dwi. Jika praktik seperti itu dibiarkan, sangat membahayakan keberlangsungan investasi di daerah. Para mafia itu tahu bahwa sistem bisnis pengembang adalah semua proses administrasi pertanahan di BPN, mulai dari cek list, AJB, pasang HT, dan lain-lain.
Saran Direktur PT Citra Mandiri Dwi Pratama itu adalah apabila terverifikasi surat-surat yang digunakan sebagai bahan gugatan terbukti palsu, maka negara dalam hal ini Kementerian ATR/BPN harus langsung menggugat balik. Bukan investor, pengembang, atau masyarakat yang melaporkan balik. Selain itu, harus ada aturan untuk keadilan, yang membuat jera dan memperkecil ruang gerak para mafia. Karena yang digugat itu adalah produk negara.