Pengangguran RI Tembus 8,42 Juta Orang di 2022, Jabar ‘Juaranya’

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengangguran Indonesia menembus 8,42 juta orang pada Agustus 2022. Jawa Barat (Jabar) menjadi provinsi paling banyak penyumbang pengangguran. Untuk daerah dengan pengangguran terbanyak di Indonesia, BPS melaporkan urutan satu ada Jawa Barat (8,31 persen), Kepulauan Riau (8,23 persen), Banten (8,09 persen), DKI Jakarta (7,18 persen), dan Maluku (6,88 persen). Kemudian, Sulawesi Utara (6,61 persen), Sumatra Barat (6,28 persen), Aceh (6,17 persen), Sumatra Utara (6,16 persen), dan Kalimantan Timur (5,71 persen). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Agustus 2022 mencapai 5,86 persen. Jika dirinci, ada 8,42 juta pengangguran yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, dari 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 6 orang penganggur.

Berdasarkan jenis kelamin, ada 5,93 persen pengangguran laki-laki dan 5,75 persen lainnya wanita. Meski begitu, BPS mencatat TPT pada 2022 turun ketimbang Agustus 2021, yakni 0,81 persen untuk laki-laki dan 0,36 persen wanita. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, penduduk berusia 15-24 tahun tercatat dalam kategori TPT sebesar 20,63 persen pada 2022. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan penduduk usia 25-29 tahun (3,36 persen) dan 60 tahun ke atas (2,85 persen). Sementara itu, jumlah pengangguran dari 2020 hingga 2022 masih banyak tersebar di perkotaan. Ada 7,74 persen TPT di perkotaan pada Agustus 2022, berbanding dengan 3,43 persen TPT di pedesaan.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah lantas mengatakan 2,8 juta dari 8,42 juta pengangguran di Indonesia pasrah mencari kerja. Ida menyebut 33,45 persen pengangguran itu hopeless of job. Tercatat, dari 2,8 juta tersebut, 76,9 persen berpendidikan rendah atau lulusan SMP ke bawah. Menaker Ida lantas mengkategorikan pengangguran yang merasa tak mungkin memperoleh pekerjaan adalah tantangan pertama penurunan pengangguran. Tantangan kedua dalam penurunan pengangguran adalah tekanan untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja, khususnya di sektor formal. Ketiga, nilai budaya kerja baru. Keempat, risiko mismatched atau ketidaksesuaian antara supply and demand akibat adanya digitalisasi. Ia menambahkan kunci untuk mengatasi pengangguran di pasar kerja adalah dengan menciptakan pasar tenaga kerja yang inklusif.

Search