Agresi militer Rusia yang berlarut-larut di Ukraina belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, agresi militer tersebut justru hanya memperkuat persepsi umum bahwa sesungguhnya Rusia tak berhasil mewujudkan tujuannya, meski Amerika Serikat dan NATO tidak ikut menurunkan kekuatan militernya menghadapi agresi Rusia tersebut. Hingga saat ini kampanye Rusia di Ukraina telah memasuki pekan kedua, dan menunjukkan tanda-tanda kemenangan berpihak pada Moskwa. Namun demikian, simpati warga dunia justru lebih memihak Ukraina. Ekspresi warga dunia bahkan sangat jelas dan tegas meski Rusia memilih bergeming.
Pengamat komunikasi dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Algooth Putranto, di Jakarta, Rabu (9/3/2022) memaparkan narasi demilitarisasi meski diputar berulang-ulang dengan beragam fakta pada akhirnya menuai impresi negatif karena fakta menunjukkan Ukraina saat diserang belum masuk sebagai anggota NATO. Sementara narasi denazifikasi justru membingungkan karena secara hitam putih mempersepsikan Ukraina adalah antisemit, dan fasis, sedangkan Rusia adalah Tentara Merah–pembebas yang masih berperang melawan Nazisme hingga hari ini.
Semua ini bertentangan dengan fakta yang jelas bahwa semua warga negara Soviet saat Perang Dunia II bertugas di Tentara Merah, termasuk Ukraina, sementara paham antisemitisme tersebar luas di Kekaisaran Rusia dan di Uni Soviet. Cara-cara Rusia saat ini serupa bagaimana Amerika Serikat dengan modal psikologi ketakutan pasca Tragedi WTC tahun 2001 dan kebohongan Senjata Pembunuh Massal (WMD) yang direstui Presiden George W Bush untuk menginvasi Irak pada 19 Maret 2003.