Pengamat mempermasalahkan sumber energi baru dalam Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian menilai RUU EBET tidak memberikan kepastian dalam perkembangan energi terbarukan di Indonesia karena adanya energi baru dalam RUU tersebut. Dalam RUU EBET, produk-produk turunan batu bara-seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal) disebut sebagai energi baru. Jenis energi baru ini dinilai bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya.Berry mengatakan RUU EBET justru menunjukkan bahwa belum ada political will yang jelas untuk meninggalkan batu bara sepenuhnya. Menurutnya, tidak ada negara lain yang menggabungkan pembahasan energi baru dan terbarukan dalam satu regulasi yang sama. Pasalnya resiko dan tata cara produksi energi baru dan energi terbarukan berbeda.
Senada, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo meniai masuknya energi baru dalam RUU EBET justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. Ia mengatakan teknologi yang disebut energi baru saat ini seperti teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru juga berdampak kepada kualitas air.
Di sisi lain, Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Grita Anindyarini menyoroti nuklir yang juga akan akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia sesuai RUU EBET. Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan
dan penggunaan nuklir disebut memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal. Tak hanya itu, RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun, tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan. Grita mengatakan pada dasarnya hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Namun, riset yang ada saat ini menunjukkan baru satu persen green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia, sedangkan selebihnya masih dari energi fosil.