Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai Bank Indonesia (BI) tidak perlu terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuan karena depresiasi rupiah masih bisa diatasi dengan cadangan devisa. “BI belum mau menaikkan suku bunganya karena kalau yang dikhawatirkan, misalnya stabilitas nilai tukar rupiah yang dipengaruhi oleh capital flow, tampaknya kemarin tekanannya tidak terlalu besar sehingga bisa diperangi dengan cadangan devisa,” kata Faisal.
Faisal mengingatkan BI perlu melihat kondisi ke depan, sehingga kalau rupiah tekanannya begitu besar dan cadangan devisa cepat terkuras mungkin sudah perlu menaikkan suku bunga. “Kalaupun dinaikkan, saya rasa tidak perlu ada kejutan besar sampai di atas 25 bps, pelan-pelan saja,” jelasnya. Selain itu, BI juga harus mengalkulasi dampak lanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama kalau suku bunga naik. Dampaknya adalah penyaluran kredit perbankan ke sektor riil jadi lebih mahal. Jadi, kredit untuk mendapatkan pendanaan para pelaku usaha di Indonesia lebih mahal. Lalu, pertumbuhan kita juga akan mengalami perlambatan.
Pemerintah juga telah menambah alokasi subsidi untuk energi seperti pertalite, elpiji 3 kilogram, dan tarif listrik untuk meredam potensi inflasi. Hal itu yang meredam inflasi sehingga BI tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga karena menurut Faisal inflasi di Indonesia masih tergolong moderat. Peranan kebijakan sisi fiskal seperti ini yang dibutuhkan supaya sinergi meredam inflasi. Faisal memproyeksikan pada semester II-2022, BI akan meningkatkan suku bunga acuan paling tidak sampai 50 bps, untuk merespons kebijakan lanjutan dari The Fed.