Keputusan pemerintah membebaskan bea masuk impor beras menuai kritikan tajam dari berbagai pihak karena bertentangan dengan semangat untuk mengutamakan konsumsi produk lokal dengan mendorong produktivitas. Ekonom Celios, Nailul Huda, di Jakarta, Selasa (7/11), mengatakan impor pangan saat ini menunggangi isu El-Nino (kekeringan). Dengan dalih untuk menjaga ketahanan pangan melalui penumpukan stok di gudang, maka yang terjadi adalah beras petani dalam negeri tidak perlu lagi diserap karena harganya naik. “Petani yang dirugikan, padahal baru kali ini mereka sedikit menikmati keuntungan dari harga beras yang naik,” kata Nailul.
Sementara importir sangat diuntungkan dengan kebijakan tersebut karena bea masuk dibebaskan karena ditanggung pemerintah. Dengan demikian, tidak perlu effort lagi untuk menyerap beras petani. Nailul pun menduga ada pihak tertentu, khususnya para pencari rente (rent seeker), yang diuntungkan dari kebijakan tersebut karena mengambil marjin dari harga yang ditetapkan pemerintah untuk jutaan ton beras impor. “Pasti ada margin di situ yang dinikmati oleh rent seeker. Jangan-jangan buat biaya menghadapi pemilu seperti pada pengalaman-pengalaman sebelumnya,” katanya.
Pembebasan bea masuk impor beras, jelasnya, sama saja dengan mensubsidi importir. Idealnya, pemerintah mensubsidi petani untuk memacu semangat mereka meningkatkan produktivitas, apa pun tantangannya termasuk El Nino, bukan sebaliknya mensubsidi importir yang mematikan petani. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah memberi insentif kepada Perum Bulog untuk pembebasan bea masuk beras. “Pembebasan bea masuk spesifik 450 rupiah per kilogram berupa bea masuk ditanggung pemerintah. Nanti, akan diberikan Kementerian Keuangan,” kata Airlangga.