Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Asia Tenggara justru menunjukkan tren positif dengan lonjakan investasi hijau sebesar 43 persen. Sektor pengolahan limbah dan tenaga surya menjadi pendorong utama pertumbuhan ini, sebagaimana terungkap dalam laporan “Southeast Asia’s Green Economy” edisi ke-6. Laporan tersebut memprediksi potensi pertumbuhan PDB tambahan hingga USD 120 miliar dan penciptaan 900.000 lapangan kerja baru di kawasan ini pada tahun 2030, sekaligus memangkas hingga 50 persen kesenjangan emisi. Kunci keberhasilan ini terletak pada pendekatan berbasis sistem yang melihat ekonomi hijau sebagai jaringan yang saling terhubung, dengan fokus pada identifikasi hambatan, solusi lintas sistem, dan prioritas pada solusi berdampak tinggi.
Sektor energi surya mencatat pertumbuhan investasi tertinggi, mencapai 100 persen, diikuti oleh sektor pengelolaan limbah dengan lonjakan transaksi sebesar 60 persen. Hal ini mengindikasikan pergeseran minat investor pada solusi yang lebih konkret dan berkelanjutan. Laporan tersebut juga menyoroti tiga solusi berbasis sistem yang krusial bagi pertumbuhan hijau dan dekarbonisasi di Asia Tenggara, yaitu bioekonomi berkelanjutan, pengembangan jaringan listrik generasi berikutnya, dan ekosistem kendaraan listrik (EV). Selain itu, pembiayaan iklim dan transisi, pasar karbon yang kuat, serta pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) hijau juga dianggap sebagai faktor penting.
Sebagai pemain kunci di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investasi hijau berkat kekayaan bioekonomi, potensi energi surya yang melimpah, dan kebutuhan mendesak dalam pengelolaan limbah. Momentum ini menuntut sinergi antara pemerintah, pelaku bisnis, dan investor untuk memanfaatkan potensi yang ada. Dengan fokus pada implementasi solusi berbasis sistem dan dukungan terhadap sektor-sektor hijau yang menjanjikan, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam peta ekonomi hijau regional, sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mengurangi emisi.