Polemik beras oplosan kembali mencuat setelah pemerintah menemukan 212 merek beras yang diduga melanggar standar mutu dan harga. Di lapangan, pedagang dan petani justru menilai isu “oplosan” sebagai bentuk adaptasi terhadap tekanan ekonomi, seperti tingginya harga gabah dan tidak naiknya Harga Eceran Tertinggi (HET). Beberapa produsen sengaja menurunkan kadar mutu—seperti meningkatkan kadar broken—agar bisa menjual beras dengan harga yang masih masuk akal. Pedagang juga mengaku terbebani oleh biaya pengepakan kecil, sementara petani mengeluhkan tingginya biaya produksi dan rendahnya hasil panen. Bagi petani, impor beras justru lebih mengkhawatirkan dibanding isu oplosan lokal. Mereka mendorong agar harga gabah ditetapkan minimal Rp 7.000/kg untuk menjamin kelangsungan usaha tani.
Menanggapi temuan tersebut, pemerintah melalui Kementan dan Satgas Pangan memberi waktu dua minggu bagi pelaku usaha untuk memperbaiki mutu dan kepatuhan terhadap HET, atau akan dikenai sanksi hukum. Hasil investigasi terhadap 268 sampel dari 212 merek menunjukkan bahwa mayoritas beras premium dan medium tidak memenuhi standar mutu, dijual di atas HET, dan memiliki ketidaksesuaian berat kemasan. Menteri Pertanian menegaskan bahwa manipulasi seperti ini bisa merugikan konsumen hingga Rp 99 triliun per tahun dan harus segera dihentikan untuk menciptakan pasar pangan yang lebih adil dan transparan. Pemerintah menekankan bahwa perlindungan konsumen dan keberlangsungan usaha tani harus berjalan beriringan