Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 menjadi sorotan tajam, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meskipun PDIP sebelumnya mendukung kebijakan ini sebagai bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021, kini mereka meminta pemerintah untuk meninjau kembali pelaksanaannya.
Beberapa pihak, termasuk anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar, menilai sikap PDIP inkonsisten dan mencerminkan ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan keputusan yang telah disepakati. Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengakui bahwa kenaikan PPN adalah amanat UU HPP, tetapi menyatakan bahwa pemerintah memiliki diskresi untuk menurunkan tarif PPN hingga 5% jika diperlukan. Anggota DPR dari Fraksi Nasdem juga menekankan bahwa penolakan PDIP terhadap kebijakan ini bertentangan dengan keputusan sebelumnya.
Dalam konteks ini, PDIP diingatkan untuk tidak “cuci tangan” atas kebijakan yang mereka dukung sebelumnya, dan pentingnya menjaga konsistensi dalam politik demi kepentingan rakyat. Dengan latar belakang ini, PDIP menghadapi tantangan untuk menjelaskan sikapnya kepada publik dan memastikan bahwa kebijakan perpajakan yang diambil tidak hanya memenuhi amanat hukum tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas.