Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto harus bertanggungjawab atas dugaan suplai senjata dari tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke junta militer Myanmar. Pasalnya, Presiden Jokowi menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan Prabowo Subianto menjabat sebagai Ketua Harian KKIP. Komite tersebut mewakili pemerintah untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional terkait senjata dari hulu ke hilir, meliputi perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan.
Julius mengatakan, komite akan memverifikasi pengadaan dan pembelian senjata. Verifikasi tersebut meliputi jumlah senjata dan amunisi yang dibeli, serta peruntukannya. Sebab, dalam peraturan pelaksana UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, pembeli senjata dan amunisi harus menjelaskan penggunaan senjata tersebut. Terlebih, jumlah yang dipesan dalam jumlah banyak dengan konsep government to government. Dalam pengadaan senjata, pengusulan dilakukan oleh Menteri Pertahanan kepada KKIP. Lalu, pelaksananya diserahkan kepada BUMN yang membidangi industri pertahanan, DEFEND ID.
Holding perusahaan pelat merah di bidang pertahanan, DEFEND ID, menyatakan tidak pernah menjual senjata atau alat peralatan pertahanan dan keamanan ke junta militer. DEFEND ID merupakan induk perusahaan, menaungi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM karena disebut menjual menjual senjata ke Myanmar.