Para ahli hukum tata negara meminta Badan Legislasi DPR RI menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon demi menjaga stabilitas hukum dan demokrasi di Indonesia. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Benediktus Hestu Cipto Handoyo mengatakan jika DPR mengabaikan putusan MK maka hal tersbut akan berisko menimbulkan krisis konstitusional serius. Benediktus menjelaskan, dalam konteks hukum tata negara, putusan MK memiliki kekuatan hukum final dan mengikat. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini bukan open legal policy (kebijakan hukum terbuka). Ketentuan ini secara lex scripta dan lex stricta sudah jelas dan pasti tidak perlu ditafsirkan lagi oleh para pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu semua pihak, termasuk lembaga legislatif seperti Badan Legislasi (Baleg) DPR, wajib menghormati dan menjalankan putusan MK.
Adapun saat Baleg mengabaikan putusan MK, beberapa konsekuensi dapat muncul. Pertama, pelanggaran prinsip negara hukum dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum. Kedua, ketidakpastian hukum akibat pengabaian putusan MK. Hal ini pada akhirnya akan menjadikan warga negara tidak lagi yakin bahwa hukum akan ditegakkan secara adil dan konsisten. Ketiga, konflik antarlembaga negara. MK dapat memberikan teguran atau peringatan kepada Baleg yang jika tidak diindahkan bisa memicu krisis konstitusional. Keempat, secara politis, pengabaian putusan MK oleh Baleg dapat dianggap sebagai tindakan inkonstitusional yang dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap rezim. Kelima, lebih jauh potensi impeachment atau gugatan hukum. Dalam skenario terburuk, tindakan pengabaian ini bisa dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan hukum atau bahkan impeachment terhadap anggota legislatif yang terlibat jika ditemukan pelanggaran konstitusi yang serius.
Senada, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menilai revisi UU Pilkada yang dipaksakan oleh Badan Legislasi DPR RI akan membuat aturan tersebut cacat hukum dan inkonstitusional. “Jika DPR mensahkan perubahan UU Pilkada dengan tetap memuat pasal ambang batas perolehan kursi dalam Pasal 40 ayat (1) sebagai sarat pencalonan kepala daerah jelas inkonstitusional,” kata Hamdan dikutip dari akun X pribadinya @hamdanzoelva Rabu (21/8/2024). Sementara itu pakar hukum tata negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) W. Riawan Tjandra yang menyebut revisi UU Pilkada yang dipaksakan akan membuat aturan tersebut cacat hukum kronis dan batal lantaran tak sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.