Pakar Ungkap Kejanggalan Dalam Kasus Korupsi Tom Lembong

Penetapan dan penahanan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka impor gula menimbulkan pertanyaan. Kasus dugaan korupsi yang terjadi periode 2015-2016 itu, baru diusut Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal tersebut memunculkan kejanggalan. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar menyoroti kasus dugaan korupsi impor gula itu yang menyeret Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka. “Kasus Tom Lembong ini, perlu dicek dulu karena kalau dalam konteks Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, apakah unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang itu terpenuhi?” ujar Muhammad Fatahillah Akbar.

Berdasarkan press release yang dikeluarkan Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, kerugian negara itu dilihat dari keuntungan yang diterima oleh perusahaan swasta yang menerima impor gula kristal mentah. Akbar mempertanyakan, siapa yang menghitung kerugian keuangan negara itu. Apakah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini untuk memastikan, angka kerugian yang diklaim dalam kasus ini dihitung secara valid dan akurat oleh lembaga yang kompeten, bukan hanya berdasarkan perkiraan dari penyidik atau kejaksaan. Dalam kasus ini, yang diperkaya adalah korporasi swasta karena dari delapan swasta itu menerima Rp400 miliar. Padahal, ini harus dilihat juga, kerugian itu bukan kerugian keuangan negara secara langsung, tapi juga dari PT PPI yang merupakan BUMN. Akbar kemudian mengasumsikan, kerugian BUMN ini kemudian dikategorikan sebagai kerugian negara seluruhnya. Padahal, harus diperhitungkan lagi, modal disetor negara berapa dan lain sebagainya. Ia turut mempertanyakan mengapa kasus tahun 2015 baru diusut di tahun 2023, sesuai dengan waktu penyidikan, meskipun kasus itu belum kadaluarsa. Lantas, apakah kerugian yang dialami oleh BUMN ini bisa disebut sebagai kerugian keuangan negara?

Menurut Akbar, itu bisa menimbulkan debat yang panjang, tapi sudah banyak putusan yang menyebut kerugian BUMN bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. “Seharusnya tidak serta merta (kerugian BUMN adalah kerugian negara). Misalkan, Rp400 miliar itu, apakah keuntungan potensial? Karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2012, kerugiannya itu harus aktual, bukan potensial,” ucapnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-X/2012 menyatakan bahwa dalam konteks tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara harus bersifat aktual (nyata) dan bukan hanya kerugian potensial (perkiraan kerugian yang belum terjadi). Putusan ini menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan negara harus didasarkan pada kerugian yang telah terjadi dan nyata, bukan sekadar potensi kerugian atau estimasi. Putusan ini lahir untuk mencegah penafsiran yang terlalu luas dan subyektif dalam menghitung kerugian negara pada kasus korupsi.

Search