Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Angraini menyatakan, revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mesti berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Titi menegaskan, pemerintah dan DPR jangan mencoba melakukan distorsi terhadap putusan tersebut. Titi berharap besar kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mengawal putusan MK ini dengan baik. Titi juga menegaskan, putusan MK yang dibacakan hari ini bersifat erga omnes, yakni berlaku untuk semua dan berlaku saat diucapkan, kecuali dalam putusan ada penundaan pemberlakuan secara spesifik.
MK memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional atau constitutional engineering, menyusul dihapusnya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan capres-cawapres oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi, sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih. Keempat, Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan capres-cawapres dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya. Dan kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).