Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/10/2023). Dalam kesempatan itu, Menkeu dan KSSK melaporkan soal perkembangan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) yang kian melemah akhir-akhir ini. Menurut Sri Mulyani, situasi global ikut memengaruhi tekanan pada rupiah. Salah satunya kondisi suku bunga acuan AS yang kemungkinan masih akan terus naik.
“Kita semua tahu fenomena global saat ini dengan AS yang menghadapi inflasi yang cukup tertahan tinggi dan kondisi ekonomi yang cukup kuat. Mereka kemudian mengeluarkan signal,” ujar Sri Mulyani pada Senin. “Atau paling tidak dibaca market bahwa higher for longer itu akan terjadi. Dan ini yang sebabkan banyak capital flowing back to Amerika Serikat,” lanjutnya. Sri Mulyani juga menyebut bahwa kondisi Dollar AS kuat secara global. Sehingga, pemerintah sedang mempersiapkan kebijakan untuk menghadapi situasi ini. Kebijakan yang disiapkan nantinya akan menyasar nilai tukar rupiah terhadap Dollar, inflasi maupun untuk sektor riil. “Kita harus sinkronkan kebijakan moneter dan fiskal agar dalam situasi di mana pemicunya adalah negara seperti AS dampaknya ke ekonomi bisa kita mitigasi dan diminimalkan,” tutur Sri Mulyani.
“Baik terhadap nilai tukar, inflasi maupun terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Itu yang terus kita lakukan,” tambahnya. Diberitakan, baru-baru ini tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS terus terjadi. Bahkan, kurs rupiah telah melewati level Rp 15.800 per dollar AS. Melansir data Bloomberg, per 19 Oktober 2023, nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,43 persen ke level Rp 15.798 per dollar AS. Pelemahan rupiah berlanjut pada awal perdagangan, di mana sampai dengan pukul 09.56 WIB, rupiah terdepresiasi 0,70 persen ke level Rp 15.840 per dollar AS. Analis pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, pelemahan rupiah pada salah satunya disebabkan oleh eskalasi konflik antara Israel dengan Hamas. Konflik yang telah memakan ribuan korban jiwa itu membuat ketidakpastian global semakin buruk. Sentimen lain yang menekan pergerakan rupiah yakni tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS yang kembali meningkat.