Tren pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir tampaknya menjadi perhatian banyak pihak. Pengamat Pasar Keuangan, Ariston Tjendra menilai, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS berpotensi menyamai krisis moneter pada 1998 silam. Saat itu, nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp2.500 menjadi Rp16.900 per dolar AS. Dia menyebut pelemahan tren nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Terbaru, serangan balasan rudal balistik Iran ke wilayah Israel yang mengejutkan banyak pihak. “Kalau konflik terus memanas dan meluas bukan tidak mungkin pelemahan berlanjut ke level tertinggi 1998,” kata Ariston . Terlebih, Ketua Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell mengisyaratkan akan melakukan penundaan pemangkasan suku bunga acuan AS karena inflasi AS yang masih sulit untuk dikendalikan sehingga ini bisa kembali mendorong penguatan dolar. Beruntung kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini lebih baik daripada krisis moneter pada 1998 silam. Tercermin dari produk domestik bruto (PDB) masih tumbuh di kisaran 5 persen. “(PDB) ini jauh di atas negara-negara lain, kemudian inflasi juga terjaga,” ungkap Ariston. Meski demikian, pemerintah diminta untuk tetap menjaga kepercayaan pelaku pasar terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga, dapat menahan potensi pelemahan Rupiah lebih dalam akibat konflik Iran dan Israel. “Ketika peristiwa eksternal yang jadi pemicu saat ini mereda, pasar kembali lagi masuk berinvestasi di Indonesia dan Rupiah bisa menguat lagi,” pungkas Ariston.