Konflik Rusia dan Ukraina yang berlarut-larut menyebabkan gangguan pasokan pangan global. Kedua negara yang berperang itu merupakan produsen dan pengekspor komoditas pertanian terpenting di dunia, terutama tanaman sereal, termasuk jelai, gandum, dan jagung. Secara keseluruhan, kedua negara mengekspor 12 persen dari kalori makanan yang diperdagangkan di seluruh dunia. Khawatir dengan kelangkaan pangan, mendorong negara-negara di dunia sudah banyak mengambil langkah untuk mengamankan pasokan pangannya sendiri dengan melarang ekspor.
Hungaria misalnya, sejak Maret lalu, telah memutuskan melarang ekspor biji-bijian dalam bentuk serealia. Selain Hungaria, Moldova juga ikut menunda pengapalan komoditas gandum, jagung, dan gula. Berbeda dengan kedua negara tersebut, Indonesia justru melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya bukan karena khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi karena eksportir lebih banyak menjual minyaknya ke luar negeri memanfaatkan harga yang tinggi. Akibatnya, pasokan dalam negeri langka sehingga memicu kenaikan harga.
Menanggapi larangan pangan sejumlah negara produsen itu, Pakar Pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan krisis pangan akan selalu membayangi negara yang memiliki kebergantungan pada impor. Untuk itu, pemerintah perlu lebih serius membangun kedaulatan pangan, bukan sekadar ketahanan pangan. Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, meminta pemerintah untuk mengambil sejumlah langkah strategis terutama pada komoditas strategis seperti beras. Pasokan dan distribusi beras harus diawasi ketat. Jangan sampai ada yang memanfaatkan situasi dan melakukan penimbunan untuk mengambil untung saat harga naik. Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atimajaya, Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan momentum kenaikan harga pangan dan komoditas primer sebenarnya menguntungkan bagi Indonesia karena kekuatan ekspor pada komoditas primer. Sayangnya, beberapa industri pengolahan juga berbahan baku komoditas primer yang harus diimpor sehingga kenaikan harga menyebabkan kenaikan biaya produksi yang signifikan. Di sisi lain, disparitas harga internasional dan domestik mendorong pengusaha lebih menyukai ekspor dan mengabaikan penyediaan bahan baku komoditas untuk industri pengolahan makanan sehingga mendorong peningkatan harga produk pengolahan makanan. Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan kehadiran negara untuk kepentingan nasional harus benar-benar mengembalikan makna kedaulatan pangan sejati yakni kedaulatan pangan di tangan produsen pangan lokal, petani, dan nelayan.