Moneter AS Belum Stabil, Rupiah Terus Merosot

Kondisi sektor keuangan (moneter) di Amerika Serikat (AS) yang belum stabil akibat penutupan beberapa bank berdampak pada kurs rupiah yang terus merosot. Pada penutupan perdagangan Senin (27/3) di pasar uang antarbank, rupiah melemah 10 poin atau 0,07 persen ke posisi 15.163 rupiah per dollar AS dibanding perdagangan akhir pekan lalu di level 15.153 rupiah per dollar AS. Analis dari ICDX, Revandra Aritama kepada Antara mengatakan sentimen negatif dari eksternal muncul menyusul kewaspadaan investor global terhadap kondisi likuiditas bank di AS setelah kejadian yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB) dan beberapa bank lain.

Di sisi lain, otoritas moneter AS, Federal Reserve dihadapkan pada tantangan angka inflasi yang masih tinggi. Walaupun sudah turun, namun masih jauh dari target the Fed yakni sekitar 2 persen. Hal itu yang mendorong para pelaku pasar wait and see data ekonomi lanjutan dan laporan dampak krisis keuangan terhadap ekonomi AS. “Jika dampaknya tidak besar, ada peluang the Fed melanjutkan kebijakan menaikkan suku bunga acuan,” jelas Revandra. Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko mengatakan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menunjukkan bahwa di pasar valas, penawaran dollar AS menurun. Turunnya suplai dollar itu, karena pelaku pasar cenderung memegang aset safe haven dan yakin kalau Federal Reserve masih pro penurunan inflasi, sehingga cenderung melanjutkan kenaikan suku bunga. Kalau Bank Indonesia (BI) kerap menyatakan pre-emptive atau mendahului maka saat ini adalah waktu yang tepat untuk menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate.

Pengajar dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata meminta Pemerintah dan otorites moneter Indonesia untuk mewaspadai kebijakan non suku bunga yang pasti akan mempengaruhi laju ekonomi Indonesia. Krisis perbankan di AS setelah kolapsnya SVB Bank dan Signature Bank tidak bisa lagi hanya dihadapi dengan kebijakan suku bunga. Kombinasi suku bunga yang tinggi di tengah perbankan yang tampak rapuh tentu dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan seperti menambah beban bagi masyarakat maupun dunia bisnis karena syarat jaman menjadi makin ketat. Akibatnya, aktivitas ekonomi pun semakin sulit untuk bergerak secara berkesinambungan. Bahkan, serial kenaikan suku bunga kini diyakini mempunyai kontribusi memunculkan krisis perbankan. Bersamaan dengan itu, tensi ketegangan politik di Eropa juga tak juga kunjung reda, sehingga menambah distabilitas ekonomi global yang berimplikasi pada ekspor Indonesia.

Search