Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah untuk menerbitkan peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah yang akan dilakukan di 101 wilayah pada tahun 2022. Aturan pelaksana tersebut penting untuk menyediakan mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas sehingga pengisian penjabat kepala daerah tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, peraturan pelaksana pengisian penjabat kepala daerah juga dapat memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme yang dilakukan sudah berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel.
Hal tersebut terungkap saat putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK No 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 67/PUU-XX/2022 dibacakan dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman (20/4/2022). Pemohon perkara nomor 15 adalah sejumlah warga DKI Jakarta dan Jawa Barat yang meminta MK menyatakan pemerintah perlu memperpanjang kepala daerah yang saat ini menjabat. Perkara nomor 18 diajukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara yang mempersoalkan pendeknya masa jabatan mereka (tidak sampai lima tahun) akibat pilkada serentak 2024. Perkara nomor 67 diajukan Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak yang merasa dirugikan akibat ditundanya pilkada dari yang seharusnya dilakukan pada 2022 dan 2023 menjadi 2024. MK menolak semua permohonan itu.
MK juga mengingatkan agar penjabat kepala daerah diberi kewenangan penuh sama seperti gubernur, bupati, dan wali kota mengingat lamanya mereka akan menjabat. Ini penting mengingat peran sentral penjabat kepala daerah dalam masa transisi sebelum kepala daerah definitif terpilih dan demi dapat terwujudnya akselerasi perkembangan pembangunan daerah. Secara khusus, MK juga menyoroti soal unsur prajurit TNI dan anggota Kepolisian aktif yang tidak dapat menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Pengajar Ilmu Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Wiwik Budi Wasito, mengungkapkan, problem saat ini adalah bagaimana pemerintah melaksanakan putusan MK, khususnya kriteria dan mekanime penunjukan penjabat kepala daerah yang ada dalam pertimbangan putusan MK. Diharapkan, masyarakat sipil dapat mengawal pelaksanaan putusan MK tersebut. Sebab, salah satu kelemahan MK adalah tidak memiliki lembaga eksekutorial untuk mengawasi apakah putusannya dijalankan atau tidak.