Mahkamah Konstitusi mulai menerima pengajuan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Permohonan tersebut diajukan, antara lain, oleh Hasrul Buamona (dosen dan konsultan hukum kesehatan), Siti Badriyah (Koordinator Advokasi Migran CARE), Harseto Setyadi Rajah (konsultan hukum para anak buah kapal), Jati Puji Santoso (mantan ABK migran), serta dua mahasiswa, Syallom Mega G Matitaputty dan Ananda Luthfia Ramadhani. Permohonan itu didaftarkan pada Kamis (5/1/2013) oleh kuasa hukum mereka, Viktor Santoso Tandiasa dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Alasan pengujian perppu, antara lain regulasi yang dikeluarkan Presiden tersebut bertentangan dengan norma konstitusi khususnya terkait Pasal 1 Ayat (3) yang mempertegas RI sebagai negara hukum, Pasal 22 Ayat (1) terkait ihwal kegentingan memaksa yang menjadi syarat penerbitan perppu. Selain itu, perppu dinilai bertentangan dengan UU No 13/2022 tentang Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta dua putusan MK sebelumnya (138/PUU-VII/2009 dan 91/PUU-XVII/2020). Para pemohon meminta MK untuk menyatakan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 dan UU PPP. Untuk menghindari adanya dampak yang lebih besar, pemohon meminta MK untuk menjatuhkan putusan sela berupa menunda keberlakuan Perppu Cipta Kerja. Jika demikian, maka Perppu Cipta Kerja belum dapat dibawa ke DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang.
Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menguraikan sulitnya berharap baik kepada DPR maupun MK untuk membatalkan perppu. Langkah selain menguji ke MK, adalah DPR diharapkan mengkaji secara obyektif penerbitan perppu. Namun, MK saat ini dinilai sudah terdomestifikasi atau terjinakkan. Sulit pula berharap kepada hakim-hakim MK yang terancam untuk diganti di tengah masa jabatan seperti dilakukan oleh DPR kepada hakim konstitusi Aswanto. Konfigurasi politik di DPR saat ini, dengan mayoritas fraksi menjadi bagian dari koalisi partai politik pendukung pemerintahan, berharap pada lembaga legislatif untuk menilai secara obyektif perppu hampir tidak mungkin.
Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menguraikan sulitnya berharap baik kepada DPR maupun MK untuk membatalkan perppu. Langkah selain menguji ke MK, adalah DPR diharapkan mengkaji secara obyektif penerbitan perppu. Namun, MK saat ini dinilai sudah terdomestifikasi atau terjinakkan. Sulit pula berharap kepada hakim-hakim MK yang terancam untuk diganti di tengah masa jabatan seperti dilakukan oleh DPR kepada hakim konstitusi Aswanto. Konfigurasi politik di DPR saat ini, dengan mayoritas fraksi menjadi bagian dari koalisi partai politik pendukung pemerintahan, berharap pada lembaga legislatif untuk menilai secara obyektif perppu hampir tidak mungkin.