Krisis menandai situasi tak terkendali yang diikuti hiruk-pikuk kepanikan. Begitu pula yang terjadi dengan krisis minyak goreng belakangan ini. Bahkan, mitigasi melalui penerbitan enam kebijakan Kementerian Perdagangan tak mampu membuat barang tersedia dengan harga terjangkau. Regulasi belum mampu membangun keseimbangan antara mekanisme pasar dan kepentingan publik.
Paling tidak, ada dua faktor fundamental yang memicu krisis minyak goreng. Pertama, kenaikan harga komoditas, terutama minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPG) di pasar global. Kedua, kegagalan merancang sekaligus melaksanakan kerangka regulasi yang mengatur pasar minyak goreng di dalam negeri. Harga komoditas sangat terkait dengan perkembangan global yang tidak bisa dipengaruhi. Karena itu, perlu mitigasi lebih baik dalam rancangan dan pelaksanaan regulasi di pasar domestik. Pada prinsipnya mekanisme pasar tidak bisa dilawan, tetapi bisa dikelola dengan berbagai insentif. Kerangka inilah yang digunakan guna mengendalikan pasar minyak goreng. Persoalannya, rancangan kebijakan dalam meregulasi pasar harus dijalankan sampai ke level teknis, seperti kepastian serta pengendalian pasokan. Dalam hal sembilan bahan pokok, sebagaimana diatur pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, pengelolaan pasokannya bisa dikendalikan melalui Badan Pangan Nasional. Bagaimana dengan komoditas lain di luar bahan pokok, seperti minyak goreng ini?