Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita tetap membuka peluang importasi kereta bekas Jepang yang akan dilakukan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) seiring rencana mempensiunkan 10 rangkaian Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek pada 2023 dan 16 rangkaian di tahun depan. Meski demikian, perlu adanya keseimbangan terhadap penggunaan produk dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan pelayanan transportasi publik yang tetap terjaga. Importasi tetap ada dalam opsi, walaupun tidak prioritas, apalagi barang bekas. Kebijakan bisa berupa retrofit atau gabungan antara retrofit dan importasi. Menperin menegaskan, perencanaan kebutuhan kereta api seharusnya lebih terstruktur dan sistematis, untuk jangka menengah dan jangka panjang. Sehingga semua stakeholders siap. Ke depan kasus seperti ini, apalagi impor, tidak boleh terulang lagi, ungkap dia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan, solusi soal polemik impor KRL bekas rencananya kembali dibahas pada Senin (06/03/2023). Pihaknya juga segera mengirim permintaan ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit atas impor kereta rel listrik (KRL) bekas. Luhut menekankan, pihaknya tidak ingin mengulangi kesalahan atas kejadian impor barang bekas di masa lalu. Dia pun meminta agar ada perencanaan lebih rinci, sehingga negara tidak terus melakukan impor.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menerangkan, pemerintah ingin PT KCI memesan KRL Jabodetabek dari PTINKA Namun, FT INKA baru sanggup menyediakan KRL pesanan PT KCI pada 2025 dengan harga yang tinggi. Meskipun demikian, PT KCI telah menandatangani MoU dengan PT INKA untuk pemesanan KRL tersebut sesuai kebutuhan. Dia mengatakan, berhubung produk PT INKA belum dapat terelisasi di 2023 dan 2024, PT KAJ telah meminta izin Kementerian Perhubungan untuk dapat melakukan impor pengaadaan KRL bekas pakai dari Jepang tentu melalui proses tata Kelola yang baik. Namun, proses perizinan impor KRL bekas ternyata sangat rumit birokrasinya dan berpotensi mengganggu pelayanan KRL Jabodetabek.