Menurut Lis Dedeh, Deputi Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Anak, Disabilitas, dan Lansia, Badan Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat DPP Partai Demokrat, Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 sudah membuat partai berleha-leha mencari bakal caleg perempuan karena jumlah 30 persen tidak lagi mutlak. Terbitnya PKPU No 10/2023, terutama Pasal 8 Ayat 2, pada 18 April 2023 meresahkan sebagian perempuan caleg, pengurus parpol, akademisi, dan organisasi yang mengadvokasi demokrasi. PKPU ini dinilai membuka peluang turunnya jumlah keterwakilan perempuan. Simulasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi yang disampaikan Khoirunnisa Nur Agustyati menunjukkan, pembulatan ke bawah akan menurunkan keterwakilan perempuan di 38 dapil.
Diah Pitaloka, politisi PDI-P dan Ketua Koalisi Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), menyebut, PKPU tersebut merupakan kemunduran. Alasannya, parpol sebenarnya sudah siap memenuhi ketentuan UU Pemilu mengenai 30 persen keterwakilan perempuan. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati menyebut, selama Pemilu 2014 dan 2019 partai-partai sudah memenuhi aturan yang pertama kali diatur melalui UU No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif itu.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang terdiri dari akademisi, anggota, dan pengurus partai politik, serta kelompok perempuan pada Sabtu (6/5/2023) di Jakarta sepakat menolak Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023. Mereka meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bergerak untuk mengubah PKPU yang bertentangan dengan UU Pemilu itu.