Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengizinkan bank mengakuisisi perusahaan teknologi finansial atau fintech dinilai akan berdampak pada arah bisnis perusahaan modal ventura. Sebab, bank-bank besar, khususnya bank milik negara, selama ini mengandalkan perusahaan modal ventura yang dimilikinya untuk berinvestasi di ekosistem fintech. Strategi itu diambil karena adanya regulasi pembatasan penyertaan modal perbankan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 36/POJK.03/2017 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal.
Peneliti ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa perubahan aturan akan menjadi tantangan bagi industri modal ventura dan bisa menimbulkan persaingan tak sehat jika tidak disertai dengan pembatasan yang ketat atau ketentuan persaingan usaha yang memadai. OJK memang berencana memperluas kriteria perusahaan yang bisa diakuisisi bank umum, termasuk dalam hal cakupan jenis anak usaha yang boleh dimiliki. Namun OJK belum merinci jenis perusahaan fintech apa saja yang boleh diakuisisi bank umum ataupun syarat, kriteria, dan ketentuan lainnya karena rancangan aturan ini masih dalam tahap pembahasan.
Sejumlah bank besar setahun belakangan gencar mengembangkan bisnis anak usaha modal ventura dan jorjoran menyuntikkan modal untuk mendukung investasi ke ekosistem fintech. PT Bank Central Asia Tbk (BCA), misalnya, berkomitmen menambah modal anak usahanya, PT Central Capital Ventura (CCV), sebesar Rp 400 miliar pada tahun ini. Langkah agresif mendanai perusahaan fintech juga dilakukan Mandiri Capital Indonesia (MCI), perusahaan modal ventura milik PT Bank Mandiri (Tbk). Sepanjang tahun lalu, MCI telah berpartisipasi dalam tujuh pendanaan start-up fintech, fintech enabler, insurtech, dan open finance. Pendanaan itu antara lain ditanamkan di Amartha, Crowde, Privy ID, dan Bukalapak.