Hari Pangan Sedunia tahun 2022 tanggal 16 Oktober masih dibayang-bayangi berbagai krisis kemanusiaan global seperti pandemi Covid-19, konflik, perang, krisis iklim, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan ketegangan-ketegangan hubungan internasional, masih terus herlangsung.
FAO mengangkat tema Hari Pangan Sedunia tahun ini: Jangan Ada yang Ditinggalkan (Leave No One Behind). Tema ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa meski sudah ada kemajuan dalam membangun dunia yang lebih baik, masih banyak orang yang ditinggalkan. Fakta ironis, menurut Our World in Data, pada 2019 ada 8,9 persen atau sekitar 663 juta penduduk dunia masih mengalami kekurangan gizi dan sekitar 697 juta orang mengalami rawan pangan. Sementara menurut FAO, pada 2021 jumlah penduduk dunia yang mengalami kelaparan sebanyak 767 juta jiwa.
Situasi di Indonesia tak lebih baik. Menurut Global Hunger Index (GHI) tahun 2021, tingkat kelaparan di Indonesia masih berada di level 18 (skala 0-100), nomor tiga tertinggi di Asia Tenggara, setelah Timor Leste (32,4 persen) dan Laos (19,5 persen). Pada 2021 persentase penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan sebesar 6,1 persen atau sekitar 17 juta jiwa. Masih ada 8,49 persen atau sekitar 23,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami kerawanan pangan (BPS).
Sementara masih banyak yang kelaparan dan kekurangan gizi, banyak orang Indonesia masih membuang makanan. Sisa makanan mendominasi jenis sampah di Indonesia, mencapai hampir 40 persen dari semua jenis sampah (KLHK, 2020). Harian Kompas (19/5/2022) menghitung pemborosan makanan mencapai Rp 330 triliun lebih per tahun. Setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara dengan Rp 2,1 juta per tahun.
Security Index (GFSI), ketahanan pangan di Indonesia tahun 2021 melemah dibandingkan 2020, yakni dari level 61,4 menjadi 59,2. Ada empat indikator untuk mengukur ketahanan pangan: keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan pangan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).
Indeks ketahanan pangan di Indonesia bahkan masih kalah dari lima negara Asia Tenggara lain (Singapura 77,4; Malaysia 70,1; Thailand 64,5; Vietnam 61,1; dan Filipina 60). Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi sumber alam besar, tetapi belum mempunyai ketahanan pangan yang kuat?
Menurut GFSI, infrastruktur pertanian pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global. Standar nutrisi dan keragaman makanan pokok juga masih dinilai rendah. Ditambah lagi, SDA Indonesia dinilai memiliki ketahanan yang buruk karena belum dilindungi kebijakan politik yang kuat serta rentan terpapar bencana terkait perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan pencemaran lingkungan.