Pemerintah masih juga belum membayar utang rafaksi minyak goreng. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) membeberkan alasan lambatnya pembayaran utang rafaksi minyak goreng kepada pelaku usaha minyak goreng. Pertama, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam melakukan pembayaran klaim utang rafaksi minyak goreng. Terlebih, terdapat selisih pembayaran yang berbeda antara hasil verifikasi dari PT Sucofindo dengan klaim utang dari pelaku usaha. Kedua, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagai pihak yang membayarkan utang saat ini juga tengah berkasus atas dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung. Hal ini turut berdampak pada proses pembayaran utang rafaksi. Selain itu, Kemendag juga tengah meminta persetujuan kepada Kemenko Hukum dan HAM dan Kemenko Perekonomian untuk melakukan rapat terbatas (ratas) tingkat menteri terkait kelanjutan pembayaran utang ini.
Polemik pembayaran utang rafaksi ini sudah berlangsung satu tahun lamanya berawal dari penerapan kebijakan satu harga minyak goreng pada tahun 2022. Pemerintah melalui Permendag No. 3/2022 mewajibkan pengusaha ritel untuk menjual minyak goreng kemasan satu harga Rp 14.000 per liter mulai 19 Januari 2022. Kebijakan tersebut hanya berlaku hingga akhir Januari dan digantikan dengan Permendag No. 6/2022 tentang penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Padahal saat itu modal pembelian minyak goreng oleh pengusaha ritel sudah mencapai Rp 17.650 per liter. Adapun dalam pasal 11 Permendag No. 3/2022, selisih harga tersebut akan dibayar menggunakan dana BPDPKS paling lambat 17 hari kerja setelah kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi yang disampaikan kepada BDPKS.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengklaim utang rafaksi yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 344 miliar karena penerapan kebijakan itu. Namun, Kemendag berdalih belum merekomendasikan pembayaran lantaran regulasi pengadaan minyak goreng ini telah dicabut dan tidak ada dasar hukum untuk melakukan pembayaranya. Kemendag kemudian meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung terkait pembayaran ini dan telah mendapatkan jawaban bahwa pemerintah tetap harus membayarkan utang tersebut. Namun, Kemendag belum mengeluarkan rekomendasi pembayaran dengan dalih lagi bahwa ada beda angka antara klaim pembayaran dari pelaku usaha dengan PT Sucofindo selaku surveyor independen pemerintah.