Sejumlah harga bahan pokok dan bahan pangan mengalami kenaikan signifikan dan bergiliran. Mulai dari minyak goreng, gula pasir, daging sapi, hingga gas LPG.
Ekonom Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menjelaskan, kenaikan harga bahan pokok di Indonesia karena ketergantungan terhadap barang impor beberapa komoditas cukup dominan. Bawang putih dari Februari ke Januari juga sudah mulai mengalami kenaikan, jagung juga sudah naik. “Jadi memang ketergantungan impor, kedelai 80 persen, bawang putih itu bisa 85 persen lebih, daging sapi juga cukup besar impornya.
Ketergantungan impor ini membuat Indonesia tidak bisa berkutik ketika negara pengekspor mengalami masalah atau mengalami kenaikan harga, sehingga mau tak mau Indonesia yang mengimpor barang tersebut juga ikut menaikkan harga. Bhima menjelaskan bahwa kenaikan harga bahan pokok ini sebetulnya sudah terjadi sejak pertengahan 2021. Sayangnya, para pemangku kebijakan tidak melakukan intervensi untuk mengatasi kenaikan harga yang sebenarnya dapat diprediksi ini. Dia memberikan contoh dengan harga kedelai yang mengalami harga terendah pada November 2021. Pada saat itu, seharusnya pemerintah memborong kedelai dan memenuhi gudang untuk kemudian disalurkan ke pengrajin tempe dengan harga wajar.
Selain itu, Bhima mengungkapkan faktor lain, yakni kegagalan Indonesia dalam mengendalikan harga bahan pokok di pasaran, termasuk komoditas yang diproduksi sendiri. Sayangnya, Indonesia lebih memilih untuk menggelontorkan minyak sebagai komoditas ekspor, alih-alih memenuhi pasokan di negara sendiri. “Tapi, antara ekspor, pilihan mengejar devisa, mengejar surplus perdagangan, dengan ketahanan pangan di dalam negeri, kita lebih condong untuk full ekspor,” tegas Bhima. Ujung-ujungnya, masyarakat menengah ke bawah yang semakin mengalami kesulitan.