Sejumlah e-commerce tanah air mengalami gejolak dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini bisa dilihat langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan sejumlah e-commerce. Kabar PHK terbaru datang dari JD.ID. Mereka melakukan PHK terhadap 30 persen atau 200 karyawan agar perusahaan dapat terus bergerak menyesuaikan dengan perubahan. Ada juga Sayurbox yang melakukan PHK terhadap 5 persen dari total karyawan. Kemudian PT Goto Gojek Tokopedia Tbk atau GoTo melakukan PHK terhadap 12 persen dari total karyawannya atau sebanyak 1.300 orang. PHK itu dilakukan agar perusahaan lebih agile atau lincah dan bisa menjaga tingkat pertumbuhan, sehingga terus memberikan dampak positif bagi jutaan konsumen, mitra pengemudi, dan pedagang.
Lantas apa yang membuat banyak e-commerce bertumbangan dan melakukan PHK? Sejumlah e-commerce memang mengalami beban biaya yang cukup tinggi, terutama beban gaji karyawan. Misalnya GoTo. Mereka melaporkan beban terbesar pada gaji dan imbalan karyawan yang mencapai Rp11,28 triliun pada kuartal III 2022. Jumlah ini naik drastis dari tahun sebelumnya sebesar Rp5,3 triliun. Beban lainnya yang juga besar di GoTo adalah penjualan dan pemasaran yang mencapai Rp11,2 triliun, naik dari Rp4,7 triliun dari tahun sebelumnya. Sementara itu PT Bukalapak. com Tbk mencatatkan beban terbesar pada beban kompensasi berbasis saham sebesar Rp753,9 miliar pada kuartal III 2022. Selanjutnya beban gaji, upah dan kesejahteraan karyawan sebesar Rp703,1 miliar.
Melihat fenomena tersebut, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan gejolak yang dihadapi e-commerce di Indonesia sebenarnya sama dengan perusahaan teknologi dunia, seperti Amazon yang baru-baru ini melakukan PHK terhadap 10 ribu karyawan. Hal ini disebabkan karena perusahaan meningkatkan jumlah pekerja secara drastis akibat melonjaknya permintaan selama dua tahun pandemi covid-19. Saat itu, masyarakat memang lebih banyak beraktivitas secara online, termasuk berbelanja. Namun, saat pandemi mulai melandai dan masyarakat secara perlahan mulai beraktivitas secara, permintaan menurun dan tidak bisa mengimbangi beban biaya pekerja. Alhasil PHK menjadi tidak terelakkan. “Artinya, permintaan mendadak melandai yang membuat banyak tenaga kerja yang selama dua tahun lalu direkrut untuk mengimbangi peningkatan permintaan mendadak berada pada posisi tidak produktif alias tidak terpakai secara maksimal,” ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/12).
Ia menjelaskan e-commerce mencatatkan tren pertumbuhan yang positif sejak sebelum pandemi. Namun terjadi lonjakan mendadak di saat pandemi terjadi, sehingga terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja. Lalu saat tekanan pandemi mulai mereda, bisnis e-commerce juga kembali normal sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan ikut kembali ke level normal. Hal yang dialami e-commerce saat ini disebut siklus bisnis biasa di mana mereka sedang menyesuaikan jumlah tenaga kerja dengan ukuran bisnisnya.
Di sisi lain, Ronny menambahkan istilah bakar uang atau penggelontoran budget untuk meraih pangsa pasar memang kerap hampir dilakukan semua startup. Ditambah lagi, ekonomi digital disebut tumbuh sangat setiap tahunya di mana porsinya dalam PDB nasional terus berlipat setiap tahun. “Jadi agresivitas promosinya berbanding lurus dengan pertumbuhan kue ekonomi digital nasional,” ujarnya. Ronny menilai e-commerce nasional sudah cukup mapan dengan kompetisi yang juga cukup ketat. E-commerce yang tumbang biasanya adalah yang pasarnya sangat kecil, seperti pasar sayuran.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhisthira menilai persaingan e-commerce tidak sehat karena pemegang utama pasar mengandalkan promosi secara agresif. Sedangkan e-commerce yang tak punya suntikan modal akan kalah saing. Faktor selanjutnya adalah kegagalan e-commerce dalam membaca tren konsumsi masyarakat terutama pasca pandemi di mana masyarakat mulai kembali beraktivitas di luar rumah yang berarti mengurangi belanja secara daring. Akibatnya terjadi efisiensi karyawan secara besar-besaran. Bhima memprediksi sektor e-commerce yang bisa bertahan adalah business to business (B2B) e-commerce karena lebih mengandalkan profitabilitas dan user yang loyal yakni para pedagang eceran atau warung. “Jelas para pedagang butuh restocking barang dan aliran uangnya jelas. Tanpa promo seperti gratis ongkir pun peminat retail fisik yang bergabung di platform B2B cukup besar,” ujarnya.