Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, menilai langkah Bawaslu yang menerima bahkan memenangkan laporan dugaan pelanggaran administrasi dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tidak masuk akal. Sebab, putusan dari PN Jakarta Pusat tidak kompatibel dengan hukum pemilu. Bahkan, Bawaslu bisa dianggap tidak memberikan kepastian hukum jika putusan dari PN dijadikan pintu masuk oleh parpol dalam hukum pemilu. Bawaslu semestinya tidak menerima laporan dari Prima tersebut. Terlebih, KPU sedang mengajukan banding atas putusan yang dijadikan Prima sebagai pintu masuk dalam mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi. Putusan Bawaslu tersebut bahkan bisa dibaca sebagai dorongan yang kuat untuk menunda pemilu. Langkah Bawaslu itu juga bisa diuji secara etik ke DKPP karena dinilai tidak sesuai dengan hukum pemilu.
Senada dengan Arif, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Komarudin Watubun, mendorong agar Bawaslu diadukan ke DKPP. Melalui sidang etik, publik bisa mengetahui apakah Bawaslu yang memenangkan Prima melanggar aturan atau tidak. Sebab, banyak pihak menilai PN tidak berwenang mengadili pemilu, tetapi putusannya ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Anggota DKPP, Muhamad Tio Aliansyah, mengatakan putusan Bawaslu yang memenangkan Prima maupun tindakan KPU menindaklanjuti putusan Bawaslu untuk melakukan verifikasi parpol memang berpotensi diadukan ke DKPP. Sebab, ada dua prinsip yang harus dijaga penyelenggara pemilu yang selalu dijaga, yakni integritas dan profesionalitas. Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan Bawaslu tidak boleh menolak laporan dari siapapun, termasuk laporan dugaan pelanggaran administrasi dari Prima. Dalam membuat laporan, Prima memang menjadikan putusan PN Jakpus sebagai pintu masuk. Namun, putusan itu bukan menjadi satu-satunya hal yang menjadi pertimbangan Bawaslu dalam membuat putusan.