Kenaikan harga minyak mentah dunia di tengah perang Rusia dan Ukraina ikut mendongkrak harga batu bara, yang merupakan sumber energi alternatif. Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuabi, menyebut harga saham emiten batu bara akan terus melambung jika krisis energi dan konflik geopolitik terus berlangsung. Lambatnya peralihan ke sumber energi hijau, seperti gas atau matahari, membuat dunia masih bergantung pada bahan bakar fosil. Saat ada sanksi dan embargo minyak, batu bara jadi sasaran peralihan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di berbagai negara.
Di akhir perdagangan Bursa Efek Indonesia, Jumat lalu (4/3), saham sejumlah emiten batu bara menguat. Saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) menghijau. ADRO naik 16 persen dari Rp 2.610 menjadi Rp 3.040 per lembar saham. Penyebabnya adalah lonjakan harga batu bara yang sudah menyentuh US$ 400 per metrik ton, tertinggi sepanjang sejarah, sejak Rabu lalu (2/3).
Kebutuhan akan pasokan batu bara meningkat karena ketidakpastian pasokan bahan baku energi lainnya. Banyak negara mengaktifkan kembali PLTU dan mulai membuka keran impor. Head of Investment Research Infovesta, Wawan Hendrayana, membenarkan adanya sentimen geopolitik yang mengerek harga batu bara. Namun, pengaruh krisis energi dunia lebih dominan mempengaruhi komoditas tersebut. Gejolak harga bahan bakar pembangkit tersebut belum akan reda meski ada perundingan gencatan senjata Rusia-Ukraina. Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia, Anggawira, memastikan peluang ekspor itu tak akan mengusik pemenuhan kebutuhan domestik.