Kelompok masyarakat sipil, ahli kepemiluan, dan akademisi berharap putusan MK segera dilaksanakan. Pasalnya, putusan MK itu berpeluang menghadirkan perbaikan tata kelola pemilu karena selama ini pemilu dibayangi tantangan efisiensi biaya, dominasi oligarki, serta inklusivitas yang rendah bagi perempuan dan kelompok disabilitas. Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengingatkan, perlu ada kajian mendalam terhadap arah dan model pilkada ke depan. Putusan MK serta dinamika politik terakhir memunculkan setidaknya empat skenario pilkada yang dapat diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Pilkada.
Skenario pertama, mempertahankan pilkada langsung sebagaimana telah berjalan selama ini di semua daerah otonom. Skenario kedua adalah pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Skenario ketiga, pilkada langsung digelar di semua daerah, dengan pengecualian sistem noken yang masih berlaku di beberapa kabupaten di Papua. Skenario keempat adalah pilkada tidak langsung di semua daerah, dengan kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD. Menurut Arya, jika pilkada langsung dipertahankan, ada sederet syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya reformasi sistem pencalonan dan mekanisme nominasi kandidat dalam undang-undang baru. Selain itu, perlu ada moratorium sementara terhadap dana hibah menjelang pilkada.
Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sarman Simanjorang menegaskan, bagi kalangan pengusaha, yang terpenting dalam penyelenggaraan pilkada bukan soal mekanisme pemilihan langsung atau lewat DPRD, melainkan stabilitas politik. Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira menilai bahwa dalam kondisi ekonomi yang masih rentan, pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan sistem pemilihan. Sementara itu, Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Akbar Ali menyoroti perlunya pilkada yang lebih efektif, efisien, dan bermartabat, tanpa praktik politik uang yang selama ini membebani calon kepala daerah.
