Pengamat asuransi Dedy Kristianto membeberkan penyebab masifnya kasus asuransi di Indonesia. “Memang seperti yang kita ketahui banyak. Mungkin ada 11 atau 12 perusahaan asuransi yang bermasalah menurut saya,” kata Dedy. Namun, Dedy tak membeberkan perusahaan-perusahaan asuransi yang bermasalah. Dia pun membeberkan permasalahan yang mendera industri asuransi. “Pertama karena pengawasan yang tidak melekat. Pengawasan yang tidak ketat dan tidak melekat dari regulator, dalam hal ini OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Jadi, kalau saya lihat OJK jilid yang lalu itu kurang sekali dalam hal pengawasan terhadap perusahaan asuransi,” jelas Dedy. Menurutnya, pengawasan itu bisa dari sisi pemilihan atau pengangkatan direksi, kemudian dalam hal operasional perusahaan asuransi dari A sampai Z-nya sehingga kasus-kasus itu bisa muncul.
Masalah berikutnya adalah pengawasan dalam good corporate governance (GCG). Ia menilai, GCG yang diterapkan perusahaan asuransi sangat minim sekali untuk dilakukan kontrol dan monitoringnya, sehingga perusahaan bisa bekerja dengan tidak menerapkan GCG. Mitigasi risikonya sangat kurang sekali untuk itu. Selanjutnya yang kedua dari sisi pemilihan rekrutmen agen dari perusahaan asuransi. Terkadang perusahaan asuransi itu hanya melakukan rekrutmen agen itu berdasarkan pre-oriented. Padahal, mereka harus mampu dijadikan sebagai ujung tombak perusahaan secara profesional.
Permasalahan terakhir menurut Dedy adalah karakter masing-masing orang yang menjalankan perusahaan asuransi. Karena dibidang asuransi memiliki pengalaman panjang, tapi ketika tidak memiliki integritas di situ, maka gampang sekali tercebur ataupun terkena masalah, karena uang. “Misalnya, masalah Jiwasraya. Jiwasraya itu yang menjadi tersangka adalah bekas ketua AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) yang pengalamannya panjang di asuransi, tapi juga bisa kena,” ungkap Dedy. “Kalau kita lihat juga, permasalahannya juga soal pengelolaan perusahaannya. Masalah Wanaartha misalnya, itu kan masalah kepemilikan saham yang dibawa lari uangnya oleh pemilik sahamnya,” ujar Dedy. Menurutnya, hal tersebut harus diatur dari A – Z. Dedi memandang, perlu juga dilakukan monitoring dan kontrol secara tepat oleh OJK dan bersifat melekat, sehingga hal-hal yang seperti itu nantinya tak akan terjadi lagi