Mari berandai-andai jika tiba-tiba 1 dolar AS setara Rp8.170

Kehebohan terjadi ketika Google menampilkan nilai tukar 1 dolar AS setara Rp8.170,65, yang kemudian diklarifikasi oleh Bank Indonesia (BI) sebagai kesalahan data pihak ketiga, dengan kurs resmi pada 31 Januari 2025 sebesar Rp16.312 per dolar AS. Jika rupiah tiba-tiba menguat drastis, dampaknya bisa signifikan: ekspor berisiko menurun akibat harga produk dalam negeri yang lebih mahal, sementara impor menjadi lebih murah, yang bisa menekan inflasi tetapi merugikan industri lokal. Selain itu, utang luar negeri dalam dolar menjadi lebih mudah dilunasi, tetapi apresiasi mata uang yang cepat juga bisa menghambat investasi di sektor ekspor dan menimbulkan ketimpangan ekonomi.

Fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti penguatan yen Jepang setelah Plaza Accord 1985 yang menyebabkan penurunan daya saing ekspor dan memicu gelembung spekulatif di sektor properti dan saham. Kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan untuk meredam dampak apresiasi yen malah menciptakan krisis ekonomi berkepanjangan, dikenal sebagai “Dekade Hilang” Jepang. Contoh lainnya adalah krona Islandia yang terapresiasi drastis antara 2001-2008, menarik banyak investasi asing tetapi berujung pada krisis keuangan besar akibat utang luar negeri yang membengkak ketika nilai krona anjlok.

Dari pengalaman global tersebut, apresiasi mata uang yang cepat bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun memberikan keuntungan jangka pendek seperti biaya impor lebih rendah dan indikasi kekuatan ekonomi, dampak jangka panjangnya sering kali negatif, terutama jika tidak diimbangi dengan kebijakan ekonomi yang stabil. Oleh karena itu, perubahan nilai tukar yang bertahap dan didukung reformasi ekonomi yang kuat lebih disarankan agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Search