Kenaikan harga tiket pesawat dan jumlah penumpang pada masa arus mudik Lebaran mendatang tak serta-merta akan mengerek pendapatan maskapai penerbangan. Pasalnya, menurut Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Indonesia (INACA), Bayu Sutanto, tingkat keterisian pesawat hanya terjadi satu arah menuju kota tujuan mudik. Harga tiket pesawat, memang selalu merapat ke batas atas termahal saat permintaan meningkat drastis. Kenaikan harga tiket pesawat pun dinilai akan terjadi pada penerbangan berbiaya murah (low-cost carrier/LCC). Konsultan sekaligus pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, menilai maskapai penyedia penerbangan LCC bisa mematok tarif tinggi karena desakan biaya operasi.
Ongkos bahan bakar pesawat terbang ikut melambung bersama harga acuan minyak dunia yang sempat menyundul US$ 110 per barel, atau yang tertinggi selama sedekade terakhir. Sama halnya dengan harga bahan bakar kendaraan bermotor dan elpiji, harga rata-rata avtur terus melonjak akibat perang Rusia versus Ukraina. Porsi biaya bahan bakar masih berkisar 60 persen dari total kebutuhan operasi maskapai penerbangan. Jika harga avtur naik 20 persen saja, biaya per kursi per kilometer bisa naik 5-12 persen.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia, Alvin Lie, pun khawatir harga tiket akan semakin mahal karena avtur. Sebab, saat ini tarif per liternya sudah meningkat 50 persen sejak awal tahun. Di sisi lain, potensi permintaan justru bisa melampaui masa sebelum pandemi. Pada 2018-2019 hampir 7 juta penumpang. Setelah dua tahun tidak bisa mudik, ada kemungkinan jumlahnya menjadi 9-10 juta penumpang. Peneliti badan usaha milik negara dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan maskapai semakin leluasa mematok harga saat masa padat penumpang. Terlebih, regulasi perjalanan sudah jauh lebih longgar dibanding dua tahun terakhir. Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, meminta kenaikan tarif penerbangan tetap disesuaikan dengan daya beli konsumen domestik.