Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi. Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan. Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi. Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan. Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah. Ketiga, biaya politik yang mahal. Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia. Praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut. Transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik. Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional. Harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama. Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
