Keputusan Pemerintah Indonesia yang memberlakukan larangan ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023, diharapkan dapat menjadi solusi untuk menghentikan ketergantungan impor produk aluminium. Bijih bauksit merupakan bahan baku untuk menghasilkan alumina, yang kemudian diolah menjadi aluminium. Aluminium banyak digunakan oleh industri otomotif, industri makanan, industri perumahan, hingga industri baterai kendaraan listrik. Selama ini, dari total kebutuhan domestik sebanyak 1 juta ton aluminium, hanya 25% yang bisa dipenuhi dari lokal, sementara sisanya sebanyak 75% didatangkan dari impor. “PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) hanya mampu menyediakan 250 ribu ton aluminium. Sehingga masih terdapat room to grow yang sangat besar bagi investor untuk memenuhi kebutuhan aluminium nasional,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.
Dalam upaya mewujudkan kemandirian industri aluminium nasional, dibutuhkan penambahan fasilitas pengolahan (smelter) bauksit untuk mempercepat hilirisasi produk pertambangan tersebut. Dan pemerintah berkomitmen penuh untuk mendorong pengadaan proyek-proyek smelter tersebut. Bentuk dukungan pemerintah juga diberikan dengan membuka jalan terkait akses pendanaan perbankan di proyek ini. Juga dengan instrumen keuangan lainnya agar penanaman modal dalam negeri di sektor hilirisasi produk-produk pertambangan bisa lebih cepat. Diakui Menperin, program hilirisasi bauksit alumunium masih menghadapi beberapa tantangan. Pertama, ketersediaan infrastruktur dan energi, baik berupa jalan, pelabuhan, dan pasokan listrik di luar Pulau Jawa untuk mendukung kegiatan smelter. Kedua, dari aspek sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung kegiatan smelter. Agus mengatakan, dengan semakin banyaknya smelter, kebutuhan SDM yang mumpuni di semua level, mulai kegiatan operasional, operator, pengawas, engineer, dan level manager, akan semakin meningkat.