Kritik terhadap gagasan pencabutan larangan berbisnis buat anggota aktif TNI terus bergulir, sebab militer seharusnya berperan sebagai alat pertahanan negara dan penjaga kedaulatan, bukan melakukan transaksi dagang. Menurut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Universitas Paramadina Anton Aliabbas, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat pada 2004 buat melarang anggota aktif TNI berbisnis. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Anton mengatakan, selepas Reformasi 1998, desakan supaya TNI melepaskan diri dari peran politik dan tidak masuk ke ranah urusan sipil sejalan dengan prinsip negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil. Negara, kata Anton, juga menginginkan TNI fokus dan profesional dalam menjalankan tugas sebagai alat pertahanan dan tidak sibuk mengurus bisnis.
“Negara tidak menginginkan itu. karena itulah kemudian klausa pelarangan bisnis menjadi penting,” ujar Anton. Anton melanjutkan, larangan bagi prajurit aktif TNI berbisnis dilakukan buat mencegah konflik kepentingan. Sebab, kata Anton, jika personel TNI berbisnis maka akan sulit memisahkan antara urusan pribadi atau instansi, serta riskan menyalahgunakan kewenangan dan kekuatan militer. Anton menyampaikan, dalam pembahasan RUU TNI pada 2004 silam, DPR dan pemerintah sepakat memutuskan melarang militer berbisnis dengan harapan mereka profesional mengurus tugas pertahanan dan menjaga kedaulatan.
Sebelumnya diberitakan, TNI mengusulkan supaya prajurit aktif diperbolehkan terlibat di dalam kegiatan bisnis lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Berdasarkan Pasal 39 huruf c UU TNI, prajurit aktif dilarang terlibat kegiatan bisnis. Untuk itu, TNI mengusulkan agar pasal tersebut dihapus. Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro beralasan bahwa seharusnya yang dilarang berkegiatan bisnis adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.