Dengan melihat beberapa faktor fundamental yang memicu krisis pangan global maka ancaman krisis pangan tidak hanya berlangsung dalam waktu singkat, tetapi diperkirakan makin terasa pada 2023 mendatang. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan hal-hal fundamental yang menyokong krisis pangan bisa berkepanjangan hingga tahun depan salah satunya karena negara-negara eksportir pangan melarang pengiriman ke negara lain karena lebih mengutamakan kepentingan domestik. Hal lainnya, soal proteksi hukum dari negara-negara sekutu yang melarang ekspor gas dari Rusia sangat berdampak karena bahan baku pupuk yaitu gas dipasok dari negara tersebut.
Untuk menghadapi situasi sulit tersebut, pemerintah seharusnya menyiapkan strategi yang mendorong masyarakat untuk mengubah atau mengurangi konsumsi dari produk pangan impor menjadi lebih banyak pangan lokal. Di sisi produksi, pemerintah seharusnya memulai langkah strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan terutama untuk produk-produk yang bisa dikembangkan di dalam negeri. Gandum, gula, kedelai, harus diproduksi dalam negeri atau dengan budi daya substitusinya. Nilai impornya besar dan selama ini kita sangat tergantung dengan pasokan impor.
Ekonom dari Center Of Reform on Economic (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan cukup sulit memproyeksikan kapan krisis akan berhenti karena krisis pangan yang terjadi saat ini disebabkan oleh berbagai hal. Selain dipicu masalah geopolitik, gangguan produksi juga karena kondisi lingkungan atau cuaca alam yang kurang mendukung di beberapa waktu terakhir. Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling penting adalah memastikan pasokan pangan dalam negeri tercukupi, setidaknya sampai akhir tahun 2022. Sebab itu, penting juga memanfaatkan kemampuan produksi pangan dalam negeri. Kebijakan pertanian dan perdagangan jangan sampai menyebabkan petani merugi.