Ancaman perubahan iklim semakin nyata, terutama pada kehidupan sosial dan ekonomi. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan ancaman perubahan iklim bahkan lebih parah dibanding pandemi Covid-19. Emisi gas rumah kaca, kata Menkeu telah meningkat 4,3 persen setiap tahunnya selama 2010 hingga 2018, dan telah menyebabkan permukaan air laut di Indonesia meningkat rata-rata 0,8 hingga 1,2 sentimeter (cm) per tahun. Sri memperkirakan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim dapat mencapai 0,62 hingga 3,45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030.
“Kerugian ekonomi akibat krisis iklim ini akan mencapai 0,5 persen dari PDB pada tahun depan (2023), dan dampaknya terhadap manusia dan ekosistem di seluruh dunia akan lebih signifikan,” kata Menkeu. Atas ancaman tersebut, Sri Mulyani mengajak semua pihak mengurangi emisi karbon dalam rangka mencegah terjadinya perubahan iklim di masa depan. Melalui Paris Agreement, Pemerintah telah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Pemerintah tambahnya telah mengalokasikan anggaran 89,6 triliun rupiah atau 3,6 persen dari total belanja pemerintah dalam aksi mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim setiap tahunnya.
Presiden Direktur HSBC Indonesia, Francois de Maricourt mendukung Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan. Dalam mempercepat transisi membutuhkan modal besar. Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar 4.520 triliun rupiah untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Tentunya dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN. Perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global.