KPU tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang dinyatakan tak berkekuatan hukum oleh MA sejak 29 Agustus 2023. MA pun mengembalikan aturan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan mekanisme pembulatan ke atas guna menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan. Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, menjelaskan alasan tidak merevisi Peraturan KPU itu karena di dalam putusannya, MA membatalkan aturan itu. MA juga mengatur rumusan baru untuk aturan yang dinyatakan batal itu, yaitu sistem hitungan pembulatan ke bawah diganti menjadi pembulatan ke atas. Hasyim lantas menyamakannya dengan keadaan ketika suatu undang-undang diputus inkonstitusional oleh MK, lalu MK merumuskan sendiri perubahannya menjadi apa. Oleh karenanya, KPU hanya menyurati parpol dengan harapan agar menambah caleg perempuannya agar sesuai Putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 tersebut.
Kesempatan terakhir partai politik memperbaiki daftar calegnya, termasuk memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan, sudah ditutup pada akhir masa pencermatan Daftar Calon Tetap (DCT) 3 Oktober 2023 lalu. KPU tak bisa memastikan apakah seluruh partai politik sudah memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil yang mereka daftarkan. Seandainya pun partai politik gagal memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil pada Pileg 2024, KPU menilainya bukan masalah. Hasyim Asy’ari berkilah, tak ada konsekuensi soal pelanggaran atas amanat memenuhi hak afirmasi politik untuk perempuan.
Eks komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay berpendapat lain. Menurutnya, Pasal 249 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya berlaku pada masa awal pendaftaran bakal caleg. Dokumen parpol soal pendaftaran bacaleg di dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen, seharusnya tidak diterima. Hadar mengatakan, jika KPU tetap mengesahkan keikutsertaan parpol di dapil yang kekurangan caleg perempuan, maka itu sama saja KPU melawan putusan MA. Ia juga menyoroti bahwa keengganan KPU melakukan revisi atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalegan membuat tahapan ini berpotensi tak berkepastian hukum. Padahal, revisi aturan itu dianggap tetap perlu guna mengatur konsekuensi untuk partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan berdasarkan putusan MA. Hadar juga menyoroti potensi marak timbulnya sengketa karena persoalan ini.