Peneliti Center Macroeconomics and Finance INDEF Abdul Manap Pulungan menyampaikan salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya konsumsi rumah tangga adalah konsumsi kelas menengah atas yang terbatas. Faktor lainnya, adalah dampak pandemi Covid-19 yang masih sangat terasa, dampak lonjakan inflasi, tingginya jumlah pengangguran yang mencapai 8,5 juta, dan upah yang tumbuh lebih rendah dibandingkan inflasi.
Berdasarkan data Pertumbuhan Simpanan Maret 2022, dibandingkan tahun sebelumnya total pinjaman nasabah tumbuh 9,51 persen. Namun, pertumbuhan untuk nominal Rp5 miliar ke atas tumbuh 13,33 persen lebih tinggi dari nilai lainnya. “Untuk simpanan dengan nominal di atas Rp100 juta hanya tumbuh 4,79 persen. Artinya, orang kaya belum belanja. Mungkin belanja tapi di luar negeri, tidak di dalam negeri,” kata Abdul Manap. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi rumah tangga di kuartal I/2022 tumbuh 4,34 persen. Abdul menjelaskan, biasanya jika pertumbuhan ekonomi tinggi, maka konsumsinya tumbuh lebih tinggi. Namun faktanya, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,34 persen sementara produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,01 persen.
INDEF menyebut pondasi pertumbuhan ekonomi saat ini lebih besar porsinya dari dorongan neraca perdagangan karena melonjaknya harga komoditas. Agar kelas atas tidak menahan uangnya untuk berbelanja, Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan kuncinya adalah optimisme perekonomian. Jika pertumbuhan ekonomi kembali rendah, salah satunya akibat daya beli diutak-atik oleh pemerintah, kemungkinan kelas atas akan lebih menahan diri untuk berbelanja.