Komnas HAM menegaskan, pembatasan usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden tidak bisa disebut sebagai pelanggaran HAM. Pasalnya, hak politik bukan salah satu HAM yang tidak dapat dikurangi atau non-derogable rights dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan Pembatasan atau pengaturan seperti itu tidak dapat disebut pelanggaran HAM karena sudah memenuhi beberapa asas, seperti hak hidup, hak tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Oleh sebab itu, kata Pramono, pembatasan HAM terkait politik diperbolehkan dengan beberapa syarat.
Pembatasan diperbolehkan dengan syarat non-diskriminatif dalam hal ini memuat pembatasan yang membedakan berdasarkan agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinain politik, atau status sosial tertentu. Pramono berpendapan, jika sudah memenuhi asas tersebut, dan masih ada beberapa pihak yang ingin dilakukan uji materi, hal tersebut sepenuhnya jadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Pusat Informasi & Jaringan Aksi Reformasi (Pijar) Indonesia Sulaiman Haikal mempertanyakan peran Komnas HAM yang dinilai bungkam dalam pembatasan usia Capres-Cawapres. Karena menurut Haikal, pembatasan usia minimal 40 tahun untuk pendaftaran capres-cawapres adalah tindak pelanggaran HAM dan diskriminatif. Menurut Haikal, berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, diskriminasi didefinisikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa. Selain itu, Haikal menyebut Komnas HAM memiliki fungsi yang harus menjadi garda dalam penegakan HAM, termasuk praktek politik dan pemerintahan.