Anggota DPR Komisi III Arsul Sani membantah bila disebut tak melibatkan masyarakat dalam penyusunan RKUHP. ASrul menyampaikan bahwa ketika RUU ini diajukan, masyarakat sipil membentuk Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan membantu Baleg di DPR untuk menyusun DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), maka DIM yang diajukan oleh masyarakat sipil itulah yang dijadikan sebagai pembahasan. Arsul menduga pemerintah maupun DPR dianggap tidak mendengarkan suara publik ketika partisipasi yang disampaikan oleh koalisi masyarakat sipil tidak terakomodasi.
Arsul mengungkapkan RKUHP mulai dibahas sejak pertengahan 2015 sampai September 2019 ketika periode DPR 2014-2019 itu berakhir. Sejak itu anggota DPR RI berkeliling melakukan sosialisasi, dan para ahli juga melakukan diskusi. Asrul menegaskan bahwa tugas DPR adalah menengahi dalam aspek politik hukum terkait apakah suatu masalah akan diatur atau tidak dalam pasal UU, membahas substansi pengaturan, lalu menyepakati pembahasan rumusan pasal dan penjelasannya.
Komnas HAM memberi catatan terhadap poin krusial RKUHP. Plt. Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono, mengatakan hukuman mati merupakan bentuk dari pelanggaran hak hidup yang merupakan supreme rights meskipun pidana mati menjadi pidana alternatif. Komnas HAM merekomendasikan SNP atau standar norma dan pengaturan Hak untuk Bebas dari Segala Bentuk Penyiksaan. Komnas HAM juga tidak sepakat dengan pasal penyerangan atas harkat dan martabat presiden/wapres karena berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi. Setiap pejabat negara harus memiliki akuntabilitas. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. SNP tersebut sebenarnya juga bisa dimanfaatkan dalam menolak pasal RKHUP yang berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Kemudian, Komnas HAM menyayangkan kategori pelanggaran HAM berat sebagai tindak pidana biasa dalam RKUHP. Padahal pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crime.