Komunitas intelejen Amerika Serikat (AS) dalam laporan tahunan tentang ancaman di seluruh dunia terhadap keamanan nasional negara itu baru-baru ini menyebutkan kombinasi kenaikan harga energi dan pangan telah meningkatkan jumlah orang yang menghadapi kemiskinan ekstrem dan kerawanan pangan, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah. Negara-negara tersebut akan berjuang untuk membalikkan tren tersebut hingga akhir 2023, sampai harga pangan global stabil. Seperti dikutip dari Kantor Direktur Intelejen Nasional, harga pangan yang tinggi seiring dengan invasi Russia ke Ukraina dan pengurangan ekspor biji-bijian sehingga mengurangi daya beli jutaan rumah tangga dan membatasi kemampuan mereka untuk menyerap kenaikan harga baru.
Russia dan Ukraina adalah salah satu produsen komoditas pertanian terpenting di dunia. Kedua negara tersebut adalah pengekspor bersih produk pertanian dan pupuk ke pasar global, di mana pasokan yang dapat diekspor sering kali terkonsentrasi di segelintir negara. Sebelum perang, lebih dari 25 negara bergantung pada Russia dan Ukraina untuk kebutuhan lebih dari 50 persen impor gandum mereka. Sebab, rumah tangga miskin (RTM) secara global membelanjakan lebih dari 40 persen pendapatan mereka untuk makanan, dibandingkan dengan sekitar 10 persen di negara-negara berpenghasilan tinggi, membuat populasi itu sangat rentan terhadap harga pangan yang terus-menerus tinggi.
Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan selain ancaman kenaikan harga pangan karena perang Russia-Ukraina, Indonesia juga menghadapi ancaman El Nino (musim kering) yang mengancam produksi pangan Tanah Air. El Nino juga menurunkan produksi padi di Indonesia antara 1-5 juta ton pada 1990-2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023 masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton. Selain beras, Dwijono mengingatkan pasokan gandum sebanyak 10 juta ton impor setiap tahun yang bisa terganggu. Masalah gandum harus benar-benar dibenahi dengan diversifikasi dan substitusi yang pasti dan berkelanjutan.